Digital Clock

Minggu, 12 Februari 2012

Buku Harian Citra


Baru satu minggu masuk SMA dan aku sudah punya teman dekat. Cowok. Jujur saja, belum pernah aku merasa sedekat ini dalam waktu yang sangat singkat. Memang sih, latar belakang aku mendekati cowok ini karena tertarik. Tapi aku tak menyangka kalau kedekatan kami akan berjalan sangat cepat. Semuanya berawal saat aku mengikuti MOS di SMA…



                “Ada yang aneh dengan kakak-kakak itu, kenapa dia sering banget liat ke arah aku? Ah, mungkin aku terlalu geer.” Gumamku sambil memperhatikan kakak pendamping kelasku. Hari ini merupakan hari pertama aku mengikuti MOS di SMA. Aku duduk dengan Carol, teman satu ekskul waktu SMP. Sialnya, tak ada teman kelas 9 ku yang masuk ke kelas X-8 juga. Karena itu aku duduk dengan siapa saja.
                Dua orang kakak kelas berdiri di samping meja gurulaki-laki dan perempuan. Nah, kakak laki-laki itulah yang sejak tadi memperhatikanku. Wajahnya seperti tidak asing. Menurut instingku, dia itu alumni SMP 1, sama denganku. Tak lama, mereka memperkenalkan diri.
                “Nama kakak, Hasya Nur Asyiqin. Tapi biasa di panggil Acha. Boleh panggil Kak Hasya atau Kak Acha juga gak apa-apa,” ucap kakak kelas perempuan itu. Dilanjutkan dengan kakak yang laki-laki, “Nama saya, -- Fairuz Raziq.” Ah, sial! Perhatianku teralih oleh hal lain, sehingga aku tidak mendengar nama depan kakak itu. Padahal aku sangat ingin tahu. Tapi kenapa aku ingin tahu?
                Datanglah rombongan “orang naik darah” ke kelas kami. Yang kerjanya hanya marah-marah itu lho. Mereka datang memamerkan wajah sangar yang terlihat jelas dibuat-buat. Lalu memerintahkan agar kami duduk dengan orang dari SMP yang berbeda. Ribet amat sih ini orang.
                Aku pindah ke depan dan duduk dengan Sherly yang beda SMP sementara Carol duduk dengan Kristy. Dan dari sini aku bisa melihat kakak “yang nama belakangnya Fairuz” itu lebih jelas. Entah kenapa jadi aku yang memperhatikan kakak itu. Mungkin aku kena karma.
                Kami melakukan voting untuk mencari KM dengan kandidatnya yaitu Carol, Fathul, Nadine, dan Tirta. Karena pemilihan KM inilah aku tahu bahwa kakak “yang nama belakangnya Fairuz” itu benar-benar alumni SMP 1. Seperti sinetron, satu SMP lalu dipertemukan di satu SMA. Ah, aku terlalu banyak menghayal. Lalu terpilihlah Tirta sebagai KM kelas X-8.


               
                Telepon genggamku berbunyi nyaring, melantunkan lagu You and Me yang dinyanyikan oleh Lifehouse. Spontan aku terbangun, karena aku ingat bahwa aku harus datang sebelum jam 06:00 ke sekolah. Sekolah macam apa ini? Yang mengharuskan muridnya pergi di saat matahari masih belum terlihat? Tapi bagus juga, sih.
                Aku harus berlari mengambil barang-barang yang tertinggal untuk menghemat waktu agar bisa meminimalisir kemungkinan aku terlambat. Terlebih, aku harus berjalan kaki terlebih dahulu karena larangan tidak boleh diantar dengan alasan harus mandiri. Kakak kelas saja masih ada yang diantar mengapa kami para adik kelas tidak boleh? Ya, ya, ya, pasti karena harus menerapkan disiplin.
                Aku tiba di “jarak maksimum diantar orang tua” dan bertemu Farhan, teman kelas delapan yang sekarang sekelas denganku. Kami pergi bersama menuju tangga 99tangga yang ada di dekat sekolahku yang menghubungkan antara komplek dan jalan raya dan bergabung dengan anak-anak yang lainnya. Rupanya masih banyak siswa lain yang datang terlambat. Di tempat ini banyak sekali yang berjualan balon gas. Wajar saja, setiap kali pembukaan MOS ‘kan, setiap siswa baru diwajibkan membawa balon gas. Dan sudah beberapa kali temanku menjadi korban akibat lengah saat memegang balon sehingga mereka harus membeli balon lagi.
                Kami berbaris dan berjalan dari tangga 99 menuju gerbang sekolah sambil menyanyikan Hymne SMA 2. Ah, memalukan sekali! Ini adalah saat-saat yang paling membuatku malas. Untunglah ada kakak “yang nama belakangnya Fairuz” mendampingi barisan kelas kami.
                Setelah sampai dan melaksanakan upacara pembukaan MOS, kami masuk ke kelas masing-masing. Jauh lebih enak ketimbang berdiri di lapangan, kepanasan. Apalagi ada kakak “yang nama belakangnya Fairuz itu”. Suasana disini sangat membosankan dan terlihat jelas bahwa kami semua canggung. Namun kakak cowok pendamping kelas itu membuatku nyaman.
                Hari sebelumnya kami diminta untuk membuat yel-yel kelas. Namun tak satu pun dari kami yang membuatnya. Akhirnya Aira, teman satu SMP Sherly, maju ke depan kelas dan mempresentasikan yel-yel dadakan darinya. Skip, skip, skip.



                Hari kedua MOS, masih saja harus datang sebelum pukul 06:00 dan pulang di atas jam 16:00. Melelahkan! Di hari kedua inilah kami harus berdandan layaknya peserta MOS. Tali sepatu dianyam dengan warnya tali sesuai dengan warna kelas, pakai pita sesuai warna kelas, membawa tas dari kardus dengan ukuran 30 cm x 15 cm x 75 cm yang dilapisi dengan karton sesuai warna kelas, serta memakai topi kerucut dengan warna yang sama, sesuai warna kelas! Belum lagi membawa makanan dengan kode seperti “minuman bersuara rendah”, “padi yang membawa penyakit hepatitis B”, “suaminya Mbak Mellow”, “pesawat jet yang terjebak di dalam lumpur”, dan lain-lain.
                Yang lucu di hari ini adalah saat salah seorang dari kami, sebut saja Azman, terpaksa memuntahkan marsmellow yang sudah dilumuri kecap karena belum ada instruksi dari  tatibyang suka marah-marahuntuk memakannya. Salah seorang tatib berkata, “Kamu lapar? Saya belum nyuruh kamu makan!” dan beberapa tatib lain harus keluar ruangan untuk menahan tawa.
                Tapi yang spesial bagiku adalah saat berbaris di lapangan. Hari itu hujan turun. Tidak terlalu besar memang, tapi cukup untuk membasahi semua yang tadinya kering termasuk lapangan. Aku baris paling belakang, dekat dengan Kak Acha dan kakak pendamping satunya lagi. Kami harus memilih lapangan yang kering agar bisa kami duduki. Kebetulan aku tidak menemukan tempat kering. Karena aku masih berdiri, kakak “yang nama belakangnya Fairuz” itu membantuku menemukan bagian lapangan yang kering agar aku bisa duduk. Tak jauh dari sana, ia menemukannya dan segera menyuruhku duduk di tempat tadi. Saat aku hendak duduk, bukuku terjatuh. Lalu, kakak “yang nama belakangnya Fairuz” itu menjulurkan tangannya hendak meraih bukuku, namun aku berhasil mendahuluinya. Dari situlah aku tahu bahwa nama depan kakak itu adalah Rafie.



                Hari ini aku masih bahagia. Alasannya, karena kemarin aku pergi nonton bersama teman SMP-ku ditemani Kak Rafie. Senangnya! Saat nonton bareng, dia duduk di samping kananku dan sempat memegang tanganku. Oh my God! Benar-benar amazing. Aku sangat bahagia.
                “Kenapa senyam-senyum?” Tanya Farhan membuyarkan lamunanku.
                “Hah? Ngga..” jawabku sambil memperlebar senyum seolah ingin merahasiakan.
                “Pasti gara-gara kemarin ya?” Aku tersenyum tanpa menjawab, “iya ‘kan? Ketahuan deh!” Farhan tertawa.
                “Ya biarin..” ucapku sambil menulis tanggal hari itu di ujung kanan kertas.
                “Ih, pulpennya warna biru. Berarti lagi berbunga-bunga tuh! Hahaha!”
                Aku tersenyum. Lalu dengan cepat mengganti pulpen dengan yang tinta hitam. Serly, pun ikut tersenyum.
                “Cit, tadi Kak Rafie jatuh dari sepeda di tengah lapang..” ucap Serly sambil duduk di sebelahku. Kak Rafie memang biasa ke sekolah mengendarai sepeda.
                “Wah?! Masa?” tanyaku.
                “Iya, kasian diketawain.”
                “Masa? Ko di ketawain sih? Kasian..”
                “Iya tau.”
                Aku bergumam. Bel sudah berdering sejak tadi tapi masih belum ada guru yg masuk ke kelas. Entah kenapa aku tak bisa melupakan saat nonton bersama Kak Rafie. Di tambah lagi kami sempat seperti ini ya?
                Hari itu aku merasa seperti melayang. Tidak bisa mengikuti pelajaran sepenuhnya. Banyak tersenyum. Terlebih karena Kak Rafie sering sekali lewat di depan kelasku. Jangan senang dulu, mungkin mau pergi ke kantin karena kelasku bersebelahan dengan kantin. Tapi aku berharap ia begitu karena aku.
                Siangnya, aku ngobrol dengan beberapa teman yang sama-sama mau masuk ekskul JURUSPerguruan Pencak Silat Jujur dan Lurus, bukan pencak silat sesungguhnya, lebih ke pengolahan pernapasan. Ekskulnya Kak Rafie. Oke, memang benar aku masuk ekskul itu karena Kak Rafie salah satunya, tapi tidak sepenuhnya. Alasan lainnya karena aku penasaran, ingin banyak teman, ingin menambah wawasan. Standar lah.
                Tanpa aku sadari, sadar sih sebenarnya, aku mengikuti 3 ekskul yang sama dengan Kak Rafie, yaitu JURUS, KIR(Kelompok Ilmiah Remaja), dan HKPI(Himpunan Keluarga Pelajar Islam). Suatu waktu Kak Rafie pernah bertanya padaku dan Farhan mengapa kami mengikuti 3 ekskul yang sama dengannya. Farhan menjawab, “Kalau aku sih, JURUS buat olahraganya, KIR buat pelajarannya, HKPI buat mempelajari Islamnya.”
                “Kalau begitu sama dong dengan kakak. Kalau kamu?” Tanya Kak Rafie padaku.
                Aku tersentak, “Aku, karena seru aja..” nyengir.
                “Tahu darimana darimana seru? Bukannya kamu baru masuk ke sekolah ini?” Tanya Farhan. Sialan kau Farhan! Mau membongkar rahasiaku di depan Kak Rafie ya?! Awas saja.
                Farhan tersenyum penuh kemenangan. Dasar licik! Berani-beraninya kau! Kubunuh kau nanti! Untunglah topik pembicaraan segera berganti.



                Agustus. Bulan ke delapan yang menjadi bulan keduaku di SMA, dimana saat itu Kak Rafie berulang tahun. Tanggal 29 tepatnya. Saat itu adalah Ramadhan, dimana umat Islam menjalankan puasa wajib. Biasanya nih, di bulan Ramadhan selalu ada acara-acara yang berkaitan dengan islam. Salah satunya acara Pelangi Ramadhan yang jatuh pada hari ulang tahun Kak Rafie. Kami sama-sama mengikuti kegiatan itu. Seharian penuh bersama dan menjalani segala kegiatan yang diadakan acara itu. Benar-benar ulang tahun yang berkesan, begitu kata Kak Rafie. Semoga karena ada aku.
                September. Adakah yang istimewa di bulan ini? Satu-satunya yang istimewa yaitu nilai Ulangan Sejarah Tengah Semesterku adalah 33. Bukan, 32,5 tepatnya. Nilai terburukku sepanjang sejarah. Tidak, aku pernah mendapat yang lebih parah, nilai 0,9 untuk nilai matematikaku saat kelas 8. Mengenaskan! Tapi yang membuatku merasa lebih baik adalah nilai Sejarah Kak Rafie juga 33. Apa itu tandanya kita jodoh? Aku harap.
                Bulan ke sepuluh inilah yang paling spesial di antara bulan yang lainnya. Selain karena bulan ke sepuluh, yang bagi umat Buddha 10 adalah lambang kesempurnaan, Oktober juga merupakan hari lahirku ke dunia. Sehari sebelum Halloween aku dilahirkan. Akhir bulan, jadi jarang yang ngasih kado.
                Semakin lama hubunganku dengan Kak Rafie semakin menjauh. Apalagi setelah Kak Rafie menjaga jarak dariku. Apa sih yang salah dengan aku? Kak Rafie hanya menjawab bahwa ia ingin menjaga jarak dari akhwat. Masuk akal sih, terlebih karena Kak Rafie terkenal religius. Meski sebenarnya aku kurang setuju.
                30 Oktober, hari ulang tahunku jatuh pada hari sabtu. Aku masih ingat, hari itu adalah bulan terakhir sabtu sekolah. Setelah hari ulang tahunku itu sekolahku mengamandemen hari sekolah sampai hari jumat saja. Ternyata ulang tahunku membawa keberuntungan. Merekateman-teman sekelaskumemeberiku kejutan saat pagi hari. Mereka menulis banyak sekali ucapan selamat ulang tahun untukku dan Nadine karena ulang tahun kami bersamaan.
                Siangnya, ibuku membawakanku kue. Kami makan bersama, berpesta, bermain cream dan menari. Tak kusangka Farhan memanggil Kak Rafie saat aku bilang bahwa aku menyisakan potongan kue spesial untuk Kak Rafie. Dan Kak Rafie benar-benar datang! Aku tak tahu harus berbuat apa. Jadi aku hanya memberikan potongan terakhir kueku dan kembali mengobrol dengan temanku yang lain. Itu sungguh memalukan. Namun di balik itu semua aku senang. Akankah Kak Rafie mengetahui perasaanku? Dan apakah perasaanku padanya itu sungguhan?
                November. Bulan ke sebelas. Masih saja belum ada kemajuan hubungan antara aku dan Kak Rafie. Malah semakin merenggang.
                Suatu hari di bulan November, entah tanggal berapa, Kak Rafie menyapaku dalam salah satu situs jejaring sosial. Ia mengucapkan salam dan menebak bahwa aku sedang mengerjakan tugas. Tepat! Berhubung hari sudah malam, dan aku masih saja di depan komputer, maka ia tahu bahwa aku sedang sibuk bergelut dengan pekerjaan rumah yang semakin sulit dan menumpuk. Aku berkata “ya” dan mengungkapkan keluhku padanya. Ia mencoba menasehatiku dan memberiku semangat beberapa kali. Dan setiap kali ia berbuat begitu, selalu ampuh untukku.
                Tiba-tiba saja aku bertanya, “Kak, masih belum suka siapa-siapa?” Dulu aku pernah bertanya soal siapa yang dia suka dan dia menjawab tidak ada siapa-siapa.
                “Nggak mungkin.” jawabnya. Aku terkejut. Tentu saja ingin mengetahui cewek mana yang beruntung di sukai oleh orang yang aku sukai. Dan aku juga ingin tahu seberat apa sainganku nanti. Maka aku bertanya, “Siapa? Kelas berapa?”
                “Kelas X ada, kelas XI juga ada.” Kelas X! Mungkinkah itu aku?
                “Siapa yang kelas X?” tanyaku lagi.
                “Aku ingin kasih tahu kamu tapi aku malu.”
                “Aku kenal dia nggak?”
                “Banget. Kalian kan deket.” Sial! Bukan aku ternyata. Sejak dulu aku curiga Kak Rafie dekat denganku karena ingin mendekati Serly. Itu lebih menakutkan ketimbang ia menyukai anak kelas XI.
                “Siapa? Serly?” tanyaku.
                “Bukan Serly, coba lagi.” Perasaanku sedikit lega.
                “Siapa? Cintya? Nurul? Ekskul apa?”
                “Yah, kalo di kasih tahu ekskulnya ketahuan banget!”
                “Siapa dong? Aku ngga deket sama siapa-siapa lagi selain mereka di kelasku. Adlah?”
                “Kenapa tiba-tiba ke Adlah?”
                “Kan kalian deket dan suka smsan.”
                “Bukan dia!”
                “Siapa sih? Penasaran!”
                Tidak di jawab. Bagus Kak Rafie. Sekarang ada sesuatu yang mengganjal di hatiku mengetahui kalau bukan aku yang dia suka. Entah aku harus bagaimana menghadapi Kak Rafie karena aku pernah bilang bahwa aku suka padanya. Sejak bulan Agustus.
                Masih belum dijawab sedangkan mataku mulai membuatku muak melihat layar komputer. Aku menunggu beberapa saat lagi. Tugas yang aku kerjakan sudah lama selesai. Alasan aku masih duduk disini adalah menunggu jawaban Kak Rafie. Menyedihkan!
                “Aku tidur dulu ya, Kak. Udah malem nih, ngantuk! Besok lagi aja ya.” ucapku akhirnya. Alasan lainnya aku tidak ingin mengetahui orang yang Kak Rafie suka adalah karena aku takut membenci cewek itu, temanku yang dekat denganku.
                “Eh, nggak nunggu dulu?” Nunggu? Nunggu? Apa yang dia bilang? Nunggu? Tak tahukan betapa sakit rasanya menunggu kenyataan yang tidak ingin kau alami. Dan apakah ia tidak tahu betapa sakitnya aku menunggunya selama 4 bulan?
                “Tadi ada Mas Reza. Aku takut dia tahu soalnya suka ngelirik-lirik.” Tambah Kak Rafie. Mas Reza adalah kakak dari Kak Rafie yang menjadi pelatih JURUS.
                “Oh, Kak Rafie lagi sama Mas Reza?” tanyaku mencoba senetral mungkin.
                “Iya, komputer kita sebelahan.” Aku tak mau menjawab, lebih karena aku tak tahu harus menjawab apa.
                “Gini aja deh, aku kasih tahu kamu yang kelas sebelas, yang kelas sepuluh kamu tebak sendiri.” ucap Kak Rafie. Akhirnya.
                “Sama kelasnya ya kak!” balasku.
                “Kelas XI IPS : Qadisa, XI IPA 3 : Ainan, Nadwah, kelas X8 : …”
                Kelas X8! Kelasku! Aku sedikit berharap kalau itu adalah aku. Tapi harapan itu menciut saat ingat Kak Rafie berkata ia teman dekatku.
                “Hah? X8? Siapa? Cintya? Nurul?” tanyaku lagi. Dan dia melakukannya lagi. Tidak menjawab. Keparat kau! Sudah jatuh tertimpa tangga pula!
                “Ya udah, aku udah dapet yang aku mau. Entar aja cari tahunya. Sekarang aku capek, mau tidur.” ucapku lalu pamit dan mengucapkan salam. Ia membalas salamku dan aku bergegas menuju tempat tidur.
                Beberapa hari kemudian, Kak Rafie kembali menyapaku di situs yang sama. Dia bertanya apakah aku sudah mengetahui siapa yang dia suka atau belum. Ya Tuhan! Dia masih ingat ternyata. Aku saja sudah tak ingin mengingatnya lagi. Apa orang ini ingin menyakitiku lebih dalam lagi?
                “Belum” jawabku, “Aku takut nanti cemburu, hehehe.” Kutambahkan kata ‘hehehe’ agar terdengar seperti sebuah canda. Namun dalam hatiku aku ingin ia tahu bahwa aku tak sedang bercanda.
                “Euh, dasar.” Katanya.
                “Kasih tahu makanya.” Balasku lagi.
                “Aku pingin tapi aku malu dari kemaren juga.”
                “Kenapa malu? Siapa sih anak X8-nya?”
                “Aku kasih tahu tapi kamu biasa aja ya.”
                “Iya aku biasa aja.”
                “Jangan kaget.”
                “Iya nggak akan.”
                “Kamu, Cit..” Jelegeeer! Petir menyambar ruang hatiku, memecah keheningan yang sudah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu. Lalu turun hujan dan menumbuhkan bunga-bunga kebahagian. Membuatku ingin menghentikan momen itu.
                “Oh, aku.” Jawabku masih tidak percaya.
                “Iya..”
                “Aku biasa kan? Tuh biasa kan?” Bego. Dengan berkata begitu jelas terlihat bahwa aku bersikap tak wajar.
                “Iya, iya kamu biasa.”
                “YEAAAAHHHH! Sekarang bisa jailin Kak Rafie.” Perasaanku sudah tidak terkontrol.
                “Yah, dasar kau.”
                “Yang paling kaka suka siapa?”
                “Mau tahu juga?”
                “Iya dong.”
                “Jangan ah, nanti kamu cemburu.” Sial! Artinya itu bukan aku lagi.
                “Gak akan. Kan aku suka sama kaka juga cuma sekadar temen. Kak Qadisa sama Kak Ainan ya?” Kak Ainan. Tiba-tiba aku teringat. Beberapa hari yang lalu Adlah pernah bertanya di ruang berapa aku ulangan. Saat itu memang sedang Ulangan Akhir Semester. Aku menjawab 25 dan ia berkata, “Kamu seruangan dengan Kak Ainan.” Mungkin itu salah satu tanda kalau Kak Urfan sudah memberitahu Adlah soal ini.
                “Pasti ada Kak Ainan kan?” tambahku lagi.
                “Iya, Ainan sama kamu.” Lagi-lagi terdengar petir. Bukan petir sih, hanya getaran kencang dan asap mengepul. Mungkin salah satu gunung dalam hatiku akan meledak. Mengeluarkan lahar, menyapu tanah dan menjadikannya tanah yang subur untuk kembali di tumbuhi bunga-bunga kebahagiaan.
                “Tuh udah!” ucap Kak Urfan.
                “Oh, aku lagi. Hahaha.” Mencoba tenang.
                “Adlah tahu soal ini ya?” tanyaku menyelidiki.
                “Iya.”
                “Dia tahunya siapa aja?”
                “Sama yang aku kasih tahu ke kamu. 4 orang itu.”
                “Wah, bahaya.” jawabku cepat. Tolol.
                “Bahaya kenapa?”
                “Nggak.”

\

                Saat itu bulan Desember menjelang tahun baru. Aku mendapat tugas untuk belajar menyanyi. Lalu aku minta Kak Rafie untuk mengajarkanku, Kak Rafie adalah vokalis grup nasyid di sekolah kami. Dia menyanggupinya dan mengajakku bertemu hari minggu siang, 2 Januari 2011. Hari yang tak bisa kulupakan karena terjadi kejadian yang melukai hatiku.
                Keesokan harinya Kak Rafie pergi hiking bersama teman-temannya ke Burangrang. Ia melihat banyak kunang-kunang dan memberitahuku tentang hal itu karena ia tahu bahwa aku sangat ingin melihat kunang-kunang. Ia juga memberitahuku kalau ia ternyata tidak bisa menemuiku tanggal 2 Januari. Aku berkata tidak apa-apa dan aku bahkan tidak sudi menawarkan padanya hari lain. Aku tahu tabiatnya, sekali mengundur acara maka acara itu tidak akan pernah terlaksana. Aku pernah mengajaknya nonton dan mengundur sampai beberapa minggu hanya agar dia bisa ikut. Namun nyatanya, dia tak juga ikut. Dan itu tidak hanya terjadi 1 kali.
                Saat itu, saudaraku dari Ciamis datang dan menginap di rumahku selama 2 minggu. Mereka lebih muda daripadaku karena aku adalah cucu tertua. Sejak kedatangan mereka ke rumahku, aku masih saja sibuk dengan urusan sekolah dan OSIS. Sehingga tidak sempat meluangkan waktu untuk mereka. Akhirnya aku menuruti keinginan mereka untuk pergi nonton ke bioskop. Karena aku tidak berani pergi sendiri, aku minta di temani temanku, Reyhan.
                Kami pergi tepat di tanggal 2 Januari, hari dimana seharusnya aku bertemu dengan Kak Rafie. Dan karena kepergianku ke bioskop itulah akhirnya aku tahu alasan Kak Rafie tak bisa bertemu denganku. Dan aku tidak pernah merasakan sesakit itu. Benar-benar menyayat hatiku hingga ke dasarnya.
                Aku sedang berjalan bersama Reyhan dan ia berkata, “Itu ada Adlah.” Aku menoleh ke sebrang jalan dan melihat Adlah melambaikan tangan sambil mengendarai sepeda. Setelah beberapa langkah berjalan, aku merasa tidak enak hati. Entah mengapa aku terus teringat Kak Rafie dan dadaku berdegup kencang sekali.
                “Tadi ada Kak Rafie.”
                Jleb! Sebilah pisau terlempar dan menancap tepat di dadaku. Aku terkulai dan hampir saja menitikkan air mata. Hati ini memang tak salah. Itulah mengapa sejak tadi aku tak bisa berhenti memikirkan Kak Rafie. Karena memang Kak Rafie ada di sekitarku, dan hatiku menyadari itu.
                “Dimana?” tanyaku. Tak bisa mengendalikan emosi.
                “Tadi di depannya Adlah.” jawab Reyhan.
                Aku menoleh ke tempat dimana tadi aku melihat Adlah. Sudah kosong, hanya ada beberapa pedangang kaki lima yang menjejerkan barang dagangan mereka.
                “Kamu yakin itu Kak Rafie?” tanyaku lagi.
                “Yakin, dia pake sepeda. Jaketnya juga sama dan tasnya batik, kan?” Tepat!
                “Mengapa tidak kau bunuh saja aku saat ini?” ucapku dalam hati. Ingin rasanya pergi dari tempat ini. Tapi sejak dulu aku ingin melupakan Kak Rafie. Mungkin ini saat yang tepat untuk memperlihatkan pemberontakanku padanya. Maka aku melupakan kejadian itu dan bersenang-senang menikmati hari.
                Malamnya, tak bisa aku mengalahkan rasa penasaranku mengenai pengelihatan Reyhan. Segera kukirimi Adlah SMS yang isinya, “Kamu tadi ngapain di sekolah?”
                Beberapa saat kemudian, telepon genggamku bergetar. SMS balasan masuk, dari Adlah. Aku segera meraih ponselku dan membaca isinya, “Kenapa emang?”
                Segera aku memikirkan alasan, “Gak kenapa-kenapa. Aneh aja aku liat kamu yang orang Padalarang ada di Cimahi pake sepeda.”
                “Oh. Abis dari NF.”
                “Ngapain?”
                “Belajar matem sama Kak Ainan dan Kak Rafie.”
                Aku tidak terkejut hanya terguncang mengetahui kebenaran. Ingin rasanya aku menjerit dan menanyakan maksud semua ini pada Kak Rafie. Namun aku telah bersumpah kalau aku tidak akan menghubungi Kak Rafie lagi.
                Aku tidak membalas SMS dari Adlah karena aku sudah dapat yang kuinginkan. Aku melempar ponselku dan duduk di depan teve untuk menenangkan hati. Namun malam itu, aku benar-benar tidak bisa fokus pada apa yang aku lakukan sehingga aku memutuskan untuk tidur.
                2 hari kemudian, aku luluh dengan sumpahku sendiri. Mood-ku sudah membaik terhadap Kak Rafie, jadi aku mengiriminya SMS yang aku sendiri lupa isinya apa. Yang aku ingat adalah aku menanyakan padanya soal hari minggu ia belajar matematikan dengan Kak Ainan dan Adlah lalu ia menjawab, “Iya, emang kenapa? Lagian aku juga liat kamu ama Reyhan dan siapa itu aku gak tahu, pokoknya ada lagi.”
                Kepalaku seperti terbentur tembok. Ternyata memang benar apa yang dikatakan Reyhan. Dadaku sesak, sulit bernapas. Berulang kali aku menarik napas kuat-kuat dan mencoba menenangkan diri hingga akhirnya aku membalas, “Nggak apa-apa. Udah nggak kan sekarang?”
                “Iya, udah nggak ko.”
                Inikah akhir yang selalu ingin aku ketahui? Akhir kisahku dengan Kak Rafie yang baru berjalan 6 bulan saja? Inikah awal tahun yang harus kuhadapi dengan kesedihan. Ia masih sempat berkata , “Aku nyaman sms-an sama kamu, beda dengan sms-an sama yang lain,” dan sekarang ia berkata bahwa ia sudah tidak menyukaiku. Bukankah masih banyak belum kami kerjakan? Seperti menonton dan mengajariku bernyanyi serta mengajakku melihat kunang-kunang? Bukankah masih banyak rencana kami yang belum terlaksana sama sekali?




                Aku tak menyangka bahwa selama ini aku dan Reyhan begitu dekat. Bahkan kami pergi menonton sekarang, berdua.  Reyhan begitu berdeda dengan Kak Rafie. Ia easy going, mudah di ajak kemana pun. Lagipula ia sangat lugu sehingga aku bisa menjahilinya. Tapi itu hanya akal busuk belaka, aku masih bersedih atas kejadian yang menimpaku dan Kak Rafie.
                Awalnya, hari itu aku akan bercerita dan berbagi kesedihan dengan Reyhan. Namun tiap kali ada dia, aku selalu lupa dengan semua kesialan yang menimpaku. Dan itu tidak hanya berlangsung sekali. Berkali-kali aku mengajak Reyhan keluar bersama dengan alasan ingin curhat namun tidak pernah kesampaian. Orang ini bisa membuatku nyaman dan melupakan semua masalah yang aku alami.

                Saat itu adalah hari sabtu. Sekolah kami masih memberlakukan hari sabtu sekolah. Aku dan beberapa temanku sedang berada di depan kelas. Aku sedang menunggu ekskul sementara yang lain aku tidak tahu. Dan disana ada Reyhan.
                Hujan baru saja reda. Masih menyisakan butiran-butiran air ringan yang jatuh dari langit. Aku meminta Reyhan untuk mengantarku membeli minuman ke depan sekolah. Dan ia melakukannya. Kami pergi ke depan sekolah dan berbicara disana beberapa saat sambil memikirkan apa yang hendak aku beli. Aku berdiri membelakangi pohon bougenville dan Reyhan berdiri di hadapanku. Suara klakson menjerit dan aku sontak mundur beberapa langkah. Setelah mobil itu lewat, aku tidak bisa bergerak dari tempatku. Jilbabku tersangkut. Saat aku hendak meminta Reyhan membantuku, saat itu juga kerudungku terlepas. Dan aku melihat sesuatu yang aneh dari wajah Reyhan.
                Esoknya, tanggal 24 Oktober sekolah kami mengadakan kunjungan ke Dago Tea House untuk menonton drama musikal karena semester 2 nanti kami akan diberikan proyek mengenai drama musikal. Aku sungguh menantikan hari ini. Karena akhirnya aku bisa pergi bersama dengan teman sekelasku meski hanya ke Dago. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Azman, dan Reyhan tidak ikut. Azman karena harus ikut les untuk olimpiade sedangkan Reyhan karena terserang cacar.
                Itulah keanehan yang aku lihat pada Reyhan kemarin. Di wajah dan lehernya ada bentol-bentol yang tidak sedikit. Mungkin tertular dari Farhan yang baru saja sembuh cacar. Aku merasa sangat sedih dan sempat berkata, “Aku galau gak ada kamu Rey.” Dan aku tidak pernah menyadari bahwa aku pernah berkata begitu sampai Reyhan memberitahuku.

                Aku tersadar. Apa ingatan itu memang pernah terjadi? Apa itu benar-benar terjadi? Kenapa aku tidak pernah menyadari itu? Apakah memang sejak lama aku dekat dengan Reyhan? Tapi mengapa aku tidak pernah peduli?
                Kembali ingatanku melayang. Aku sedang di rumah sakit, menjenguk salah seorang teman kami, Ikhsan yang terkena penyakit tifus. Saat itu aku dan beberapa temanku berjalan memasuki ruang bawah tanah rumah sakit tersebut. Mencoba mencari penunggu tempat itu. Tindakan bodoh. Aku berjalan di belakang dan napasku mulai terengah-engah. Aku mencoba mengendalikan diri agar rasa takut tidak menguasaiku. Disampingku, Reyhan berkata, “Jangan nangis, jangan nangis.”
                Benarkah? Selama ini aku telah dekat dengan Reyhan?



                Aku duduk di salah satu rumah es krim. Reyhan duduk di samping kiriku. Saat itu hari kamis, saat aku terguncang mendapat SMS dari Kak Rafie yang isinya berbeda dengan kenyataan. Kak Rafie berkata dengan bahasa yang amat sangat sopan yang mengandung arti konotasi, bahwa ia minta maaf jika telah membuatku sakit hati dengan tingkah dan ucapannya serta dia ingin menjadi sabahatku sampai ia tertidur di bawah timbunan tanah.
                Entah mengapa aku terpukul menerima SMS itu darinya. Mungkin karena kenyataan bahwa aku tidak akah pernah memilikinya. Reyhan masih sibuk dengan tugas Bahasa Inggrisnya, memberiku waktu untuk berpikir sedangkan es krim di depanku meleleh, seperti hatiku. Belum  sempat Reyhan menyelesaikan tugas Bahasa Inggrisnya, air mataku mulai menetes. Membuat Reyhan berpaling dari tugasnya.
                “Kenapa?” tanya Reyhan. Aku tak menjawab. Menyibukkan diri mengatur emosi. Aku menundukan kepala dan berusaha menghentikan tangisku. Sementara Reyhan disampingku sibuk berkata, “Jangan nangis”. Mulai terdengar agak mencemaskanku.
                Aku mengangkat kepalaku saat aku dapat menghentikan tangisku. Namun kembali menunduk dan melanjutkan menangis.
                “Minta tissue.” Ucapku sambil tetap tertunduk. Reyhan sibuk mencari-cari tissue dalam tasnya. Tampaknya ia tak menemukannya, jadi dia mengambil tempat tissue yang berisi tissue makan di meja sebelah.
                “Ini tissue nih!” ucapnya. Bibirnya maju, mengisyaratkan bahwa ia sedang khawatir. Aku tertawa, benar-benar tertawa. Membuatku merasa lebih baik. Aku mengambil tissue dan mengelap tumpahan air mata di meja.
                Reyhan kembali pada tugasnya. Aku masih belum bisa bercerita. Sehingga aku hanya memperhatikan Reyhan yang sibuk dengan tugasnya dan bertanya ini itu. Karena aku tak tahu harus bertanya apa lagi, akhirnya aku memutuskan untuk memainkan es krim vanilla yang sudah sejak lama mencair di hadapanku. Menaik turunkan sendok kayu, membuat eskrim vanilla tersebut seolah jatuh dari langit. Aku mengambil beberapa tetes eskrim cair tersebut dan sengaja meneteskannya di atas meja hitam. Mulai menarik garis membentuk bulatan, di tambah mata serta mulut yang melengkung ke bawah. Menambahkan rambut keriting dan nama Reyhan di sampingnya.
                “Malu, ih!” ucap Reyhan.
                “Biarin,” kataku. Reyhan berhenti dari tugasnya dan memperhatikanku menggambar dengan eskrim. Setelah selesai, aku berkata, “Foto dong!”
                Reyhan berdiri, menghalagi gambar buatanku dengan tempat tissue agar tak terlihat pelayan, lalu bergerak ke arahku dan meletakkan sikutnya di bahuku sementara aku menyelesaikan karyaku. Aku bahkan tak sadar ia melakukan hal itu. Dari arahku, gambar itu terlihat seperti tokoh kartun berambut keriting yang cemberut, sementara dari arah bangku Reyhan, gambar itu terlihat seperti gurita berkumis. Karena aku menyukai gurita, jadi aku menamai gurita itu dengan namaku. 1 gambar yang mewakili 2 orang.
                Hari itu aku benar-benar bisa membuat diriku setenang mungkin. Setelah semua hal berat yang kualami hari itu, akhirnya aku bisa melupakan hal buruk dan bersikap optimis untuk keesokan harinya.
               


                Aku merebahkan badan di atas tempat tidurku sore itu. Membiarkan udara dingin kamar meresap ke tubuhku dan melepaskan hawa kelelahan. Aku baru saja pulang sekolah dan beristirahat sejenak sambil berpikir. Aku tak bisa menghindari kenyataan. Kenyataan bahwa selama ini aku sangat dekat dengan Reyhan. Meski aku tak pernah merasa demikian. Dan hari ini aku tambah tak percaya saat aku menceritakan kedekatanku dengan seorang cowok kepada Kak Rafie.
                “Reyhan ya?” tanya Kak Rafie di SMS, setelah aku menyuruhnya menebak siapa cowok yang dekat denganku akhir-akhir ini.
                Aku terkejut, sangat terkejut. Bagaimana dia bisa tahu?
                “Kenapa Reyhan?” jawabku berpura-pura.
                “Oh, salah ya? Siapa dong?”
                “Kasih tahu dulu alasan kenapa kaka nyangka Reyhan. Baru aku kasih tahu.”
                “Soalnya beda kalo kamu cerita tentang dia.”
                “Beda gimana?” Masa sih beda? Sama saja perasaan.
                “Kalo kamu cerita tentang dia pasti cerita kelebihannya aja. Kalo cerita yang lain sama kekurangannya.” Masa? Benarkah?
                “Masa sih? Dia banyak kok kekurangannya.”
                “Tapi kamu gak pernah cerita kekurangan dia.”
                “Emang kalo aku suka seseorang langsung kelihatan ya?” tanyaku.
                “Oh, berarti bener? Selamat yah.” balas Kak Rafie yang menjadi akhir perbincangan kami.
                Ya, mungkin aku menyukai Reyhan, lebih dari sekedar teman. Aku membutuhkan Reyhan untuk menjagaku dan melindungiku, menghiburku, memberiku semangat. Dan selama ini aku tak pernah menyadari bahwa apa yang aku butuhkan ada di sekitarku. Bahwa orang yang selalu menerimaku apa adanya, mengerti aku, dan siap mendengar keluh kesahku telah berada disampingku sejak lama. Meski aku tak menyadarinya.
                Tapi aku tak ingin kisah antara aku dan Kak Rafie terulang kembali. Aku hanya ingin menyerahkan segalanya pada waktu. Biarlah waktu yang menjawab dan aku hanya ingin membiarkan semuanya mengalir. Aku tak mau terlalu banyak mengambil tindakan agar tak terjatuh pada lubang yang sama. Mungkin lebih baik bagiku untuk beristirahat sejenak dan menunggu. Karena satu yang aku yakini, Tuhan tahu yang terbaik untukku. Dan aku pun belajar, terkadang kita terlalu berpikir jauh sementara yang kita butuhkan ada di sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner

My Photo Slideshow

Love Story - Taylor Swift